Jurnalis Bukan Sekedar Alat Untuk Kepentingan Golongan atau Kelompok

Penulis : Sudarmono

TIME BERITA, — Kebebasan pers dalam bahasa inggris freedom of the press,artinya adalah hak yang diberikan oleh konstitusional atau perlindungan hukum yang berkaitan dengan media dan bahan-bahan yang dipublikasikan seperti menyebar luaskan, pencetakan dan menerbitkan surat kabar, majalah, buku atau dalam material lainnya tanpa adanya campur tangan atau perlakuan sensor dari pemerintah.

Secara konseptual kebebasan pers akan memunculkan pemerintahan yang cerdas, bijaksana, dan bersih. Melalui kebebasan pers masyarakat akan dapat mengetahui berbagai peristiwa, termasuk kinerja pemerintah, sehingga muncul mekanisme check and balance, kontrol terhadap kekuasaan, maupun masyarakat sendiri.

Karena itu, media dapat dijuluki sebagai pilar keempat demokrasi, melengkapi eksekutif, legeslatif, dan yudikatif. Kebebasan pers pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas demokrasi.

Dengan kebebasan pers, media massa dimungkinkan untuk menyampaikan beragam informasi, sehingga memperkuat dan mendukung warga negara untuk berperan di dalam demokrasi atau disebut civic empowerment.

Pers merupakan suatu lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan suara gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.

Hal tersebut terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. (Sentosa Sembiring, 2005:183)

Ihwal perlindungan hukum dalam profesi jurnalistik (khususnya media cetak)sebenarnya berhubungan erat dengan dua kebutuhan dasar.

Yakni (1) terkait dengan perlindungan hukum terhadap pekerja pers dengan segala kompleksitas permasalahannya. (2) menyangkut perlindungan hukum terhadap masyarakat akibat arogansi pers.

*Sepenggal Coretan dikutif dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) sejarah Hari Kebebasan Pers

Pada 1993, Sidang Umum Perserikatan Bangsa-bangsa menetapkan 3 Mei sebagai hari untuk memeringati prinsip dasar kemerdekaan pers, demi mengukur kebebasan pers di seluruh Internasional. Sejak itu, 3 Mei diperingati demi memertahankan kebebasan media dari serangan atas independensi dan memberikan penghormatan kepada para jurnalis yang meninggal dalam menjalankan profesinya.

3 Mei menjadi hari untuk mendorong inisiatif publik untuk turut memerjuangkan kemerdekaan pers. 3Mei juga menjadi momentum untuk mengingatkan pemerintah untuk menghormati komitmennya terhadap kemerdekaan pers, Hari Kemerdekaan Pers Internasional juga menjadi hari bagi para pekerja pers untuk merefleksikan kebebasan pers dan profesionalisme etis jurnalis. UNESCO menjadi organisasi resmi Perserikatan Bangsa-bangsa yang setiap tahun menghelat peringatan Hari Kemerdekaan Pers Internasional.

UNESCO menetapkan tiga tema Hari Kemerdekaan Pers Internasional pada 3 Mei 2014: peran media dalam pembangunan; keselamatan dan perlindungan hukum bagi jurnalis; dan keberlanjutan dan integritas jurnalisme. Peran penting media yang merdeka dan bebas untuk memerjuangkan tata kelola pemerintahan yang baik, pemberdayaan masyarakat, dan pemberantasan kemiskinan.

Sistem hukum harus menjadi jalan satu-satunya untuk memastikan keselamatan jurnalis dan memutus mata rantai impunitas terhadap para pelaku kekerasan terhadap jurnalis. Dalam perkembangan Internasional yang semakin mengglobal, keberlanjutan dan profesionalitas jurnalisme menjadi bagian penting dari Target Pembangunan Milenium.

Meski sejak 23 September 1999, Presiden Indonesia BJ Habibie mengesahkan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) yang mencabut wewenang pemerintah untuk menyensor dan membredel pers, dalam kenyataannya profesi jurnalis masih menjadi salah satu profesi yang paling terancam di Indonesia. Pemerintah melalui aparat penegak hukum, baik dalam lingkungan peradilan umum maupun peradilan militer, terus menjalankan praktik impunitas, melindungi para pelaku pembunuhan terhadap jurnalis dari jeratan hukum.

Sejak 1996 hingga sekarang, sedikitnya ada delapan kasus pembunuhan dan kematian misterius jurnalis yang belum diusut tuntas oleh polisi. Pembunuhan jurnalis Fuad Muhammad Syarifuddin alias Udin (Udin tewas dianiaya orang tidak dikenal pada 16 Agustus 1996) hingga kini gagal diungkap polisi, dan kegagalan itu lebih diakibatkan tidak adanya kemauan polisi untuk mengungkap dan menangkap pembunuh Udin.

Praktik impunitas dalam kasus Udin menyuburkan praktik kekerasan terhadap jurnalis yang menjalankan profesinya, menjadi gelombang kekerasan yang tak pernah putus. Setiap tahun, jumlah kasus kekerasan terhadap jurnalis yang menjalankan profesinya tidak pernah kurang dari 30 kasus. Aliansi Jurnalis Independen Indonesia mencatat sejak Mei 2013 hingga April 2014 terjadi 43 kasus kekerasan.

Peringatan Hari Kemerdekaan Pers Internasional pada 3 Mei 2014 harus menjadi titik tolak untuk menghentikan praktik impunitas yang membuat para pelaku kekerasan terhadap jurnalis lepas dari jerat hukum. Pengungkapan kasus pembunuhan Udin menjadi penentu bagi kepolisian untuk menunjukkan komitmennya bagi perlindungan hukum profesi jurnalis dan kemerdekaan pers di Indonesia.(**)