PAREPARE, timeberita.com – Hak interpelasi DPRD Kota Parepare kepada Wali Kota Tasming Hamid berakhir secara tak biasa. Proses yang seharusnya berjalan formal di rapat paripurna terbuka, justru diselesaikan melalui rapat koordinasi (rakor) tertutup. Keputusan ini menuai kritik dan memunculkan tudingan adanya “transaksi” dengan kasus rumah dinas (rumdis) Ketua DPRD Parepare, Kaharuddin Kadir.
Jalan Pintas yang Dianggap Selesai
Walikota Parepare, Tasming Hamid, memenuhi undangan DPRD dan dalam rakor tertutup tersebut, ia dinilai telah menjawab semua pertanyaan yang diajukan. Akibatnya, hak interpelasi dinyatakan selesai dan tidak dilanjutkan ke tahap rapat paripurna.
Ketua DPRD Parepare, Kaharuddin Kadir (Kahar), membenarkan hal tersebut. Melalui via seluler WhatsApp, Rabu (5/11/2025), ia menegaskan bahwa hak interpelasi bukan dicabut, melainkan sudah selesai karena semua poin pertanyaan telah dijawab Wali Kota.
“Kami anggap selesai masalah ini karena sudah dijawab oleh pak wali kota kepada kami,” jelas Kahar. “Tujuan kami hanya untuk mendengar jawaban wali kota melalui rapat koordinasi secara tertutup, dan hak interpelasi ini tidak dilanjutkan karena sudah selesai penjelasan dari wali kota selaku pemerintah.”
Tudingan “Bargaining” dan Penyimpangan Prosedur
Penyelesaian mendadak ini langsung memantik kecurigaan. Muncul isu kuat bahwa penghentian hak interpelasi berkaitan dengan kasus yang menimpa Ketua DPRD sendiri, yaitu temuan Inspektorat terkait anggaran rumah dinas (rumdis) nya. Isu ini menyebut adanya “bargaining” atau transaksi di balik layar: hak interpelasi dihentikan sebagai imbalan agar kasus rumdis Ketua DPRD tidak dipermasalahkan oleh pihak Wali Kota.
Mantan Anggota DPRD dari PKS, Rahman Saleh, menanggapi keras langkah DPRD ini. Ia menyebut tindakan tersebut sebagai “akal-akalan” dan alat gertak semata.
“Saya kan sudah bilang bahwa ini akal-akalan saja anggota DPRD kita sekarang ini, mengajukan hak interpelasi sebagai alat gertak sambal. Namun setelah dibalikin berbagai kasus di DPRD Parepare hasil temuan inspektorat, maka tiba-tiba langsung hak interpelasi selesai begitu saja,” tegas Rahman.
Ia menekankan bahwa secara hukum dan prosedural, rapat koordinasi tertutup tidak sah untuk menghentikan proses hak interpelasi. Hak interpelasi adalah hak konstitusional yang prosesnya harus formal dan terbuka melalui rapat paripurna.
“Penyelesaian hak interpelasi terjadi melalui mekanisme paripurna yang spesifik, apakah menerima jawaban pemerintah, membentuk pansus, atau menggunakan hak selanjutnya. Hasil rakor tertutup tidak memiliki kekuatan hukum untuk membatalkan proses formal,” jelasnya.
Rahman menyimpulkan bahwa oknum DPRD terlihat jelas mengalami “defisit integritas”. “Yang mau diawasi justru yang mengawas punya masalah dan diawasi oleh rakyat,” tuturnya.
Sinyalemen dari LSM
Kritik serupa disampaikan Direktur IKRA Parepare, Uspa Hakim. Menanggapi hal ini, ia hanya bisa tertawa. Menurutnya, sudah jelas arah dari hak interpelasi ini hanya sebagai alat untuk “bernegosiasi” menyelesaikan masalah internal agar tidak ramai di media.
“Hak interpelasi membahas 6 poin, lalu kasus rumdis ketua DPRD yang sedang jadi buah bibir masyarakat, akhirnya berujung damai alias ‘bargaining’ di rakor tertutup kemarin. Hasilnya sekarang ini kita dengar,” kata Uspa.
Dari pihak kubu Wali Kota Parepare, dikabarkan juga tidak lagi mempermasalahkan kasus rumdis Ketua DPRD. Dengan demikian, dugaan adanya “kesepakatan damai” di balik layar antara eksekutif dan legislatif semakin kuat, meninggalkan tanda tanya besar tentang integritas proses demokrasi dan pengawasan di Kota Parepare. (*/smr)